Kamis, 14 Agustus 2008

Saladin"Knights of Crescent" Al Ayyubi

Salahudin Al-Ayubi atau tepatnya Sholahuddin Yusuf bin Ayyub, Salah Ad-Din Ibn Ayyub atau Saladin –menurut lafal orang Barat– adalah salah satu pahlawan besar dalam tharikh (sejarah) Islam. Satu konsep dan budaya dari pahlawan perang ini adalah perayaan hari lahir Nabi Muhammad SAW yang kita kenal dengan sebutan maulud atau maulid, berasal dari kata milad yang artinya tahun, bermakna seperti pada istilah ulang tahun. Berbagai perayaan ulang tahun di kalangan/organisasi muslim sering disebut sebagai milad atau miladiyah, meskipun maksudnya adalah ulang tahun menurut penanggalan kalender Masehi.
Shalahuddin terlahir dari keluarga Kurdish di kota Tikrit (140km barat laut kota Baghdad) dekat sungai Tigris pada tahun 1137M. Masa kecilnya selama sepuluh tahun dihabiskan belajar di Damaskus di lingkungan anggota dinasti Zangid yang memerintah Syria, yaitu Nur Ad-Din atau Nuruddin Zangi.
Selain belajar Islam, Shalahuddin pun mendapat pelajaran kemiliteran dari pamannya Asaddin Shirkuh, seorang panglima perang Turki Seljuk. Kekhalifahan. Bersama dengan pamannya Shalahuddin menguasai Mesir, dan mendeposisikan sultan terakhir dari kekhalifahan Fatimid (turunan dari Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad SAW).
Dinobatkannya Shalahuddin menjadi sultan Mesir membuat kejanggalan bagi anaknya Nuruddin, Shalih Ismail. Hingga setelah tahun 1174 Nuruddin meninggal dunia, Shalih Ismail bersengketa soal garis keturunan terhadap hak kekhalifahan di Mesir. Akhirnya Shalih Ismail dan Shalahuddin berperang dan Damaskus berhasil dikuasai Sholahuddin. Shalih Ismail terpaksa menyingkir dan terus melawan kekuatan dinasti baru hingga terbunuh pada tahun 1181. Shalahuddin memimpin Syria sekaligus Mesir serta mengembalikan Islam di Mesir kembali kepada jalan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Dalam menumbuhkan wilayah kekuasaannya Shalahuddin selalu berhasil mengalahkan serbuan para Crusader dari Eropa, terkecuali satu hal yang tercatat adalah Shalahuddin sempat mundur dari peperangan Battle of Montgisard melawan Kingdom of Jerusalem (kerajaan singkat di Jerusalem selama Perang Salib). Namun mundurnya Sholahuddin tersebut mengakibatkan Raynald of Châtillon pimpinan perang dari The Holy Land Jerusalem memrovokasi muslim dengan mengganggu perdagangan dan jalur Laut Merah yang digunakan sebagai jalur jamaah haji ke Makkah dan Madinah. Lebih buruk lagi Raynald mengancam menyerang dua kota suci tersebut, hingga akhirnya Shalahuddin menyerang kembali Kingdom of Jerusalem di tahun 1187 pada perang Battle of Hattin, sekaligus mengeksekusi hukuman mati kepada Raynald dan menangkap rajanya, Guy of Lusignan.
Akhirnya seluruh Jerusalem kembali ke tangan muslim dan Kingdom of Jerusalem pun runtuh. Selain Jerusalem kota-kota lainnya pun ditaklukkan kecuali Tyres/Tyrus. Jatuhnya Jerusalem ini menjadi pemicu Kristen Eropa menggerakkan Perang Salib Ketiga atau Third Crusade.
Perang Salib Ketiga ini menurunkan Richard I of England ke medan perang di Battle of Arsuf. Shalahuddin pun terpaksa mundur, dan untuk pertama kalinya Crusader merasa bisa menjungkalkan invincibilty Sholahuddin. Dalam kemiliteran Sholahuddin dikagumi ketika Richard cedera, Shalahuddin menawarkan pengobatan di saat perang di mana pada saat itu ilmu kedokteran kaum Muslim sudah maju dan dipercaya.
Pada tahun 1192 Shalahuddin dan Richard sepakat dalam perjanjian Ramla, di mana Jerusalem tetap dikuasai Muslim dan terbuka kepada para peziarah Kristen. Setahun berikutnya Shalahuddin meninggal dunia di Damaskus setelah Richard kembali ke Inggris. Bahkan ketika rakyat membuka peti hartanya ternyata hartanya tak cukup untuk biaya pemakamannya, hartanya banyak dibagikan kepada mereka yang membutuhkannya.
Selain dikagumi Muslim, Shalahuddin atau Saladin mendapat reputasi besar di kaum Kristen Eropa, kisah perang dan kepemimpinannya banyak ditulis dalam karya puisi dan sastra Eropa, salah satunya adalah The Talisman (1825) karya Walter Scott.

"khalifah V" Umar bin Abd Aziz

Umar bin Abdul-Aziz (bergelar Umar II, lahir di Halwan, Mesir 63 H / 682, wafat Februari 720)[1] (Arab: عمر بن عبد العزيز) adalah khalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 sampai 720. Tidak seperti khalifah Bani Umayyah sebelumnya, ia bukan merupakan keturunan dari khalifah sebelumnya, tetapi ditunjuk langsung, dimana ia merupakan sepupu dari khalifah sebelumnya, Sulaiman. Muhammad bin Ali bin Husain mengatakan tentang dirinya, “Kalian tahu bahwa setiap kaum memiliki orang yang yang menonjol? Yang menonjol dari Bani Umaiyah adalah Umar bin Abdul Aziz. Saat dibangkitkan di hari kiamat kelak, merupakan satu kelompok tersendiri.”

Keluarga

Ayahnya adalah Abdul-Aziz bin Marwan, gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul-Malik. Ibunya adalah Ummu Asim binti Asim. Umar adalah cicit dari Khulafaur Rasyidin kedua Umar bin Khattab, dimana Muslim Sunni menghormatinya sebagai salah seorang Sahabat Nabi yang paling dekat.

Silsilah

Umar dilahirkan sekitar tahun 682. Beberapa tradisi menyatakan ia dilahirkan di Madinah, sedangkan lainnya mengklaim ia lahir di Mesir. Umar dibesarkan di Madinah, dibawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak.
Kisah Umar bin Khattab berkaitan dengan kelahiran Umar II
Menurut tradisi Muslim Sunni, silsilah keturunan Umar dengan Umar bin Khattab terkait dengan sebuah peristiwa terkenal yang terjadi pada masa kekuasaan Umar bin Khattab.

"Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin.
Kata ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari”
Anaknya menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini”
Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.
Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.
Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.
Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu.
Kata Umar, "Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.
Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.


Kehidupan awal

682 – 715
Umar dibesarkan di Madinah, dibawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak. Ia tinggal di sana sampai kematiannya ayahnya, dimana kemudian ia dipanggil ke Damaskus oleh Abdul-Malik dan menikah dengan anak perempuannya Fatimah. Ayah mertuanya kemudian segera meninggal dan ia diangkat pada tahun 706 sebagai gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid I

715 – 715: era Al-Walid I
Tidak seperti sebagaian besar penguasa pada saat itu, Umar membentuk sebuah dewan yang kemudian bersama-sama dengannya menjalankan pemerintahan provinsi. Masa di Madinah itu menjadi masa yang jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dimana keluhan-keluhan resmi ke Damaskus berkurang dan dapat diselesaikan di Madinah, sebagai tambahan banyak orang yang berimigrasi ke Madinah dari Iraq, mencari perlindungan dari gubernur mereka yang kejam, Al-Hajjaj bin Yusuf. Hal tersebut menyebabkan kemarahan Al-Hajjaj, dan ia menekan al-Walid I untuk memberhentikan Umar. al-Walid I tunduk kepada tekanan Al-Hajjaj dan memberhentikan Umar dari jabatannya. Tetapi sejak itu, Umar sudah memiliki reputasi yang tinggi di Kekhalifahan Islam pada masa itu.
Pada era Al-Walid I ini juga tercatat tentang keputusan khalifah yang kontroversial untuk memperluas area disekitar masjid Nabawi sehingga rumah Rasulullah ikut direnovasi. Umar membacakan keputusan ini didepan penduduk Madinah termasuk ulama mereka, Said Al Musayyib sehingga banyak dari mereka yang mencucurkan air mata. Berkata Said Al-Musayyib : "Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya tata cara hidup beliau yang sederhana" [2]

715 – 717: era Sulaiman
Umar tetap tinggal di Madinah selama masa sisa pemerintahan al-Walid I dan kemudian dilanjutkan oleh saudara al-Walid, Sulaiman. Sulaiman, yang juga merupakan sepupu Umar selalu mengagumi Umar, dan menolak untuk menunjuk saudara kandung dan anaknya sendiri pada saat pemilihan khalifah dan menunjuk Umar.
Kedekatan Umar dengan Sulaiman
Sulaiman bin Abdul-Malik merupakan sepupu langsung dengan Umar. Mereka berdua sangat erat dan selalu bersama. Pada masa pemerintahan Sulaiman bin Abdul-Malik, dunia dinaungi pemerintahan Islam. Kekuasaan Bani Umayyah sangat kukuh dan stabil.
Suatu hari, Sulaiman mengajak Umar ke markas pasukan Bani Umayyah.
Sulaiman bertanya kepada Umar "Apakah yang kau lihat wahai Umar bin Abdul-Aziz?" dengan niat agar dapat membakar semangat Umar ketika melihat kekuatan pasukan yang telah dilatih.
Namun jawab Umar, "Aku sedang lihat dunia itu sedang makan antara satu dengan yang lain, dan engkau adalah orang yang paling bertanggung jawab dan akan ditanyakan oleh Allah mengenainya".
Khalifah Sulaiman berkata lagi "Engkau tidak kagumkah dengan kehebatan pemerintahan kita ini?"
Balas Umar lagi, "Bahkan yang paling hebat dan mengagumkan adalah orang yang mengenali Allah kemudian mendurhakai-Nya, mengenali setan kemudian mengikutinya, mengenali dunia kemudian condong kepada dunia".
Jika Khalifah Sulaiman adalah pemimpin biasa, sudah barang tentu akan marah dengan kata-kata Umar bin Abdul-Aziz, namun beliau menerima dengan hati terbuka bahkan kagum dengan kata-kata itu.

Menjadi khalifah
Umar menjadi khalifah menggantikan Sulaiman yang wafat pada tahun 716. Beliau di bai'at sebagai khalifah pada hari Jum'at setelah shalat Jum'at. Hari itu juga setelah ashar, rakyat dapat langsung merasakan perubahan kebijakan khalifah baru ini. Khalifah Umar, masih satu nasab dengan Khalifah kedua, Umar bin Khattab dari garis ibu.

Zaman pemerintahannya berhasil memulihkan keadaan negaranya dan mengkondisikan negaranya seperti saat 4 khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin) memerintah. Kebijakannya dan kesederhanaan hidupnya pun tak kalah dengan 4 khalifah pertama itu. Karena itu banyak ahli sejarah menjuluki beliau dengan Khulafaur Rasyidin ke-5. Khalifah Umar ini hanya memerintah selama tiga tahun kurang sedikit. Menurut riwayat, beliau meninggal karena dibunuh (diracun) oleh pembantunya.

Sebelum menjabat
Menjelang wafatnya Sulaiman, penasihat kerajaan bernama Raja’ bin Haiwah menasihati beliau, "Wahai Amirul Mukminin, antara perkara yang menyebabkan engkau dijaga di dalam kubur dan menerima syafaat dari Allah di akhirat kelak adalah apabila engkau tinggalkan untuk orang Islam khalifah yang adil, maka siapakah pilihanmu?". Jawab Khalifah Sulaiman, "Aku melihat Umar Ibn Abdul Aziz".
Surat wasiat diarahkan supaya ditulis nama Umar bin Abdul-Aziz sebagai penerus kekhalifahan, tetapi dirahasiakan dari kalangan menteri dan keluarga. Sebelum wafatnya Sulaiman, beliau memerintahkan agar para menteri dan para gubernur berbai’ah dengan nama bakal khalifah yang tercantum dalam surat wasiat tersebut.

Naiknya Umar sebagai Amirul Mukminin
Seluruh umat Islam berkumpul di dalam masjid dalam keadaan bertanya-tanya, siapa khalifah mereka yang baru. Raja’ Ibn Haiwah mengumumkan, "Bangunlah wahai Umar bin Abdul-Aziz, sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis dalam surat ini".
Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada dileher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki".

Umat tetap menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati yang berat, hati yang takut kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan sebagai khalifah ditolak dan Umar pulang ke rumah.

Ketika pulang ke rumah, Umar berfikir tentang tugas baru untuk memerintah seluruh daerah Islam yang luas dalam kelelahan setelah mengurus jenazah Khalifah Sulaiman bin Abdul-Malik. Beliau berniat untuk tidur.
Pada saat itulah anaknya yang berusia 15 tahun, Abdul-Malik masuk melihat ayahnya dan berkata, "Apakah yang sedang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?".
Umar menjawab, "Wahai anakku, ayahmu letih mengurusi jenazah bapak saudaramu dan ayahmu tidak pernah merasakan keletihan seperti ini".
"Jadi apa engkau akan buat wahai ayah?", Tanya anaknya ingin tahu.
Umar membalas, "Ayah akan tidur sebentar hingga masuk waktu zuhur, kemudian ayah akan keluar untuk shalat bersama rakyat".
Apa pula kata anaknya apabila mengetahui ayahnya Amirul Mukminin yang baru “Ayah, siapa pula yang menjamin ayah masih hidup sehingga waktu zuhur nanti sedangkan sekarang adalah tanggungjawab Amirul Mukminin mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi” Umar ibn Abdul Aziz terus terbangun dan membatalkan niat untuk tidur, beliau memanggil anaknya mendekati beliau, mengucup kedua belah mata anaknya sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang mengeluarkan dari keturunanku, orang yang menolong aku di atas agamaku”

Pemerintahan Umar bin Abdul-Aziz
Hari kedua dilantik menjadi khalifah, beliau menyampaikan khutbah umum. Dihujung khutbahnya, beliau berkata “Wahai manusia, tiada nabi selepas Muhammad saw dan tiada kitab selepas al Quran, aku bukan penentu hukum malah aku pelaksana hukum Allah, aku bukan ahli bid’ah malah aku seorang yang mengikut sunnah, aku bukan orang yang paling baik dikalangan kamu sedangkan aku cuma orang yang paling berat tanggungannya dikalangan kamu, aku mengucapkan ucapan ini sedangkan aku tahu aku adalah orang yang paling banyak dosa disisi Allah” Beliau kemudian duduk dan menangis "Alangkah besarnya ujian Allah kepadak" sambung Umar Ibn Abdul Aziz.

Beliau pulang ke rumah dan menangis sehingga ditegur isteri “Apa yang Amirul Mukminin tangiskan?” Beliau mejawab “Wahai isteriku, aku telah diuji oleh Allah dengan jawatan ini dan aku sedang teringat kepada orang-orang yang miskin, ibu-ibu yang janda, anaknya ramai, rezekinya sedikit, aku teringat orang-orang dalam tawanan, para fuqara’ kaum muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan mendakwaku di akhirat kelak dan aku bimbang aku tidak dapat jawab hujah-hujah mereka sebagai khalifah kerana aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka adalah Rasulullah saw’’ Isterinya juga turut mengalir air mata.

Umar Ibn Abdul Aziz mula memeritah pada usia 36 tahun sepanjang tempo 2 tahun 5 bulan 5 hari. Pemerintahan beliau sangat menakjubkan. Pada waktu inilah dikatakan tiada siapa pun umat Islam yang layak menerima zakat sehingga harta zakat yang menggunung itu terpaksa diiklankan kepada sesiapa yang tiada pembiayaan untuk bernikah dan juga hal-hal lain.


Surat dari Raja Sriwijaya
Tercatat Raja Sriwijaya pernah dua kali mengirimkan surat kepada khalifah Bani Umayyah. Yang pertama dikirim kepada Muawiyah I, dan yang ke-2 kepada Umar bin Abdul-Aziz. Surat kedua didokumentasikan oleh 'Abd Rabbih (860-940) dalam karyanya Al-Iqdul Farid. Potongan surat tersebut berbunyi[3]:
Dari Rajadiraja...; yang adalah keturunan seribu raja ... kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.


Hari-hari terakhir Umar bin Abdul-Aziz
Umar bin Abdul-Aziz wafat disebabkan oleh sakit akibat diracun oleh pembantunya. Umat Islam datang berziarah melihat kedhaifan hidup khalifah sehingga ditegur oleh menteri kepada isterinya, "Gantilah baju khalifah itu", dibalas isterinya, "Itu saja pakaian yang khalifah miliki".
Apabila beliau ditanya “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau mau mewasiatkan sesuatu kepada anak-anakmu?”
Umar Abdul Aziz menjawab: "Apa yang ingin kuwasiatkan? Aku tidak memiliki apa-apa"
"Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak memiliki?"
"Jika anak-anakku orang soleh, Allah lah yang menguruskan orang-orang soleh. Jika mereka orang-orang yang tidak soleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan hartaku untuk mendurhakai Allah"

Pada waktu lain, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya dan berkata: "Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama : menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, kedua: kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (kerana tidak menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga." (beliau tidak berkata : aku telah memilih kamu susah)

Anak-anaknya ditinggalkan tidak berharta dibandingkan anak-anak gubernur lain yang kaya. Setelah kejatuhan Bani Umayyah dan masa-masa setelahnya, keturunan Umar bin Abdul-Aziz adalah golongan yang kaya berkat doa dan tawakkal Umar bin Abdul-Aziz.
[Seorang Tabiin terhormat. Dia mendapat gelar Khalifah Rasyid yang ke lima karena memerintah sesuai dengan sistem Khulafaur Rasyidin. Dia naik tahta setelah Sulaiman bin Abdul Malik.

Muhammad bin Ali bin Husain mengatakan tentang dirinya, “Kalian tahu bahwa setiap kaum memiliki orang yang yang menonjol? Yang menonjol dari Bani Umaiyah adalah Umar bin Abdul Aziz. Saat dibangkitkan di hari kiamat kelak, merupakan satu kelompok tersendiri.”


Keadilannya

Umar pernah mengumpulkan sekolompok ahli fikih dan ulama dan mengatakan, “Saya mengumpulkan tuan-tuan ini untuk meminta pendapat mengenai hasil tindak curang yang berada pada keluargaku.” Mereka mengatakan, “Itu semua terjadi sebelum masa pemerintahanmu. Maka dosanya berada pada yang merampasnya.” Umar tidak puas dengan pendapat itu dan mengambil pendapat kelompok lain, di dalamnya termasuk putranya Abdul Malik yang mengatakan kepadanya, “Saya berpendapat, hasil-hasil itu harus dikembalikan kepada yang berhak, selama engkau mengetahuinya. Jika tidak dikembalikan engkau telah menjadi patner mereka yang merampasnya dengan curang.” Mendengar itu Umar puas dan langsung berdiri untuk mengembalikan hasil-hasil tindak kecurangan itu.
Wafatnya
Masa pemerintahannya hanya berlangsung sebentar. Hanya dua tahun setengah. Dia menemui Tuhan dalam keadaan adil kepada rakyatnya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz sedang di ambang kematian(sakaratul-maut),di dalam
kamarnya yang sempit yang hanya ada tempat tidur dan sebuah lampu penerang yang
tidak selayaknya bagi seorang Khalifah umat Islam.Dengan ditemani oleh anaknya
dia menghadapi kematian untuk segera bertemu dengan Tuhannya.

Didalam sekaratnya dia meminta untuk ditinggalkan sendiri,maka disuruh pergilah
anaknya yang tercinta.

Dari luar terdengar perkataan Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang terdengar seperti
oleh keluarganya:

"Wahai Kakekku,ku tahu engkau ada disini berada dekat denganku.Akankah aku dapat
menemui-mu dikehidupanku nanti.Setelah urusanku dengan Tuhanku selesai.Betapa
rindu aku hendak bertemu denganmu wahai Kakek-ku dan bertemu dengan sahabatmu,
kekasihmu,Rasulullah SAW,betapa aku meindukan pertemuan ini"
( Kakek dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz adalah Khalifah Umar bin Khatab ra )

Sementara itu diluar sana,ada sebuah keluarga yang telah kehilangan anaknya karena
anaknya telah mati syahid di jalan Allah dalam membela agama Allah.Ketika mereka sedang berada diluar kampungnya mereka melihat serombongan pasukan berkuda dengan
pakaian yang serba putih menuju ke arah kota tempat Khalifah.Di dalam rombongan itu
dia melihat seperti ada anaknya yang sedang berkuda.Masih tidak percaya apakah betul
yang ada didalam rombongan itu adalah anaknya,setelah dekat pasukan berkuda tampak-
lah kalau anaknya benar berada dalam pasukan itu.Setelah berpapasan dengan kedua orang tua-nya anak muda itu berkata:

Pemuda : Assalamu'alaikum wahai Ibu-Bapak ku

Orang Tua : Wa'alaikum salam,Benarkah engkau anakku?

Pemuda : Benar wahai Ibu,Tapi aku datang bukan untuk mengunjungi-mu.Tapi aku ter-
masuk orang yang di izinkan oleh Allah untuk menjemput khalifah Umar.

Orang Tua : Mampirlah sebentar wahai anakku,Keluargamu merindukanmu.

Pemuda : Maaf Ibu,aku harus menjemput Khalifah Umar.

Setelah berlalu pasukan tersebut dan tidak lama kemudian terdengarlah kabar bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz telah meninggal dunia dengan di jemput oleh Para Syuhada.
Innalillahi wa inna lilahi raji'un.Telah pergilah khalifah,yang termasuk
dalam Khalifatur-Rasyidin,Khalifah mengikuti khalifahnya Rasulullah,Khalifah Abu Bakar,Khalifah Umar bin Khatab,Khalifah Ustman bin Affan,Khalifah Ali bin Abi Thalib
radhiallahu anhum.

Ini baru presiden....yang takut ALLAH,bukan takut USA,bukan takut kehilangan jabatan,takut kehilangan harta,hedonis..

Presiden Iran saat ini: Mahmoud Ahmadinejad, ketika di wawancara oleh
TV Fox (AS) soal kehidupan pribadinya:
"Saat anda melihat di cermin setiap pagi, apa yang anda katakan pada diri anda?"
Jawabnya: "Saya melihat orang di cermin itu dan mengatakan padanya:"Ingat, kau tak lebih dari seorang pelayan, hari di depanmu penuh dengan tanggung jawab yang berat, yaitu melayani bangsa Iran ."


Berikut adalah gambaran Ahmadinejad, yang membuat orang ternganga:

1. Saat pertama kali menduduki kantor kepresidenan Ia menyumbangkan seluruh karpet Istana Iran yang sangat tinggi nilainya itu kepada masjid2 di Teheran dan menggantikannya dengan karpet biasa yang mudah dibersihkan.

2. Ia mengamati bahwa ada ruangan yang sangat besar untuk menerima dan menghormati tamu VIP, lalu ia memerintahkan untuk menutup ruang tersebut dan menanyakan pada protokoler untuk menggantinya dengan ruangan biasa dengan 2 kursi kayu, meski sederhana tetap terlihat impresive.

3. Di banyak kesempatan ia bercengkerama dengan petugas kebersihan di sekitar rumah dan kantor kepresidenannya.

4. Di bawah kepemimpinannya, saat ia meminta menteri2 nya untuk datang kepadanya dan menteri2 tsb akan menerima sebuah dokumen yang ditandatangani yang berisikan arahan2 darinya, arahan tersebut terutama sekali menekankan para menteri2nya untuk tetap hidup sederhana dan disebutkan bahwa rekening pribadi maupun kerabat dekatnya akan diawasi, sehingga pada saat menteri2 tsb berakhir masa jabatannya dapat meninggalkan kantornya dengan kepala tegak.

5. Langkah pertamanya adalah ia mengumumkan kekayaan dan propertinya yang terdiri dari Peugeot 504 tahun 1977, sebuah rumah sederhana warisan ayahnya 40 tahun yang lalu di sebuah daerah kumuh di Teheran. Rekening banknya bersaldo minimum, dan satu2nya uang masuk adalah uang gaji bulanannya.

6. Gajinya sebagai dosen di sebuah universitas hanya senilai US$ 250.

7. Sebagai tambahan informasi, Presiden masih tinggal di rumahnya. Hanya itulah yang dimilikinyaseorang presiden dari negara yang penting baik secara strategis, ekonomis, politis, belum lagi secara minyak dan pertahanan.
Bahkan ia tidak mengambil gajinya, alasannya adalah bahwa semua kesejahteraan adalah milik negara dan ia bertugas untuk menjaganya.

8. Satu hal yang membuat kagum staf kepresidenan adalah tas yg selalu dibawa sang presiden tiap hari selalu berisikan sarapan; roti isi atau roti keju yang disiapkan istrinya dan memakannya dengan gembira, ia juga menghentikan kebiasaan menyediakan makanan yang dikhususkan untuk presiden.

9. Hal lain yang ia ubah adalah kebijakan Pesawat Terbang Kepresidenan, ia mengubahnya menjadi pesawat kargo sehingga dapat menghemat pajak masyarakat dan untuk dirinya, ia meminta terbang dengan pesawat terbang biasa dengan kelas ekonomi.

10. Ia kerap mengadakan rapat dengan menteri2 nya untuk mendapatkan info tentang kegiatan dan efisiensi yang sdh dilakukan, dan ia memotong protokoler istana sehingga menteri2 nya dapat masuk langsung ke ruangannya tanpa ada hambatan. Ia juga menghentikan kebiasaan upacara2 seperti karpet merah, sesi foto, atau publikasi pribadi, atau hal2 spt itu saat mengunjungi berbagai tempat di negaranya.

11. Saat harus menginap di hotel, ia meminta diberikan kamar tanpa tempat tidur yg tidak terlalu besar karena ia tidak suka tidur di atas kasur, tetapi lebih suka tidur di lantai beralaskan karpet dan selimut.
Apakah perilaku tersebut merendahkan posisi presiden?
Presiden Iran tidur di ruang tamu rumahnya sesudah lepas dari pengawal2nya yg selalu mengikuti kemanapun ia pergi. Menurut koran Wifaq, foto2 yg diambil oleh adiknya tersebut, kemudian dipulikasikan oleh media masa di seluruh dunia, termasuk amerika.

12. Sepanjang sholat, anda dapat melihat bahwa ia tidak duduk di baris paling muka

Mudah-mudahan di pemilu yang akan datang kita akan memiliki Presiden seperti itu

dunia ditalak tiga oleh pemimpin seperti ini...subhanallah...

Senin, 04 Agustus 2008

BANTAHAN PERNYATAAN SEMUA AGAMA ADALAH SAMA...

Tafsir QS al-Baqarah [2]: 62)

إِنَّ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَادُوا وَالنَّصَارَى وَالصَّابِئِينَ مَنْ ءَامَنَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَعَمِلَ صَالِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ

Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabi’in, siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta beramal salih akan menerima pahala dari Tuhan mereka; tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. (QS al-Baqarah [2]: 62).

Sabab Nuzûl

Dikemukakan Ibnu Abi Hatim dari Salman al-Farisi, “Saya pernah bertanya kepada Rasulullah saw. tentang para pemeluk agama yang pernah saya anut.” Dia pun menerangkan shalat dan ibadah mereka. Lalu turunlah ayat ini.[1]

Diriwayatkan Ibnu Jarir dari Mujahid bahwa Salman al-Farisi pernah bertanya kepada Nabi saw. tentang orang-orang Nasrani dan pendapat Beliau tentang amal mereka. Beliau menjawab, “Mereka tidak mati dalam keadaan Islam.” Salman berkata, “Bumi terasa gelap bagiku dan aku pun mengingat kesungguhan mereka.” Lalu turunlah ayat ini. Setelah itu Rasulullah saw. memanggil Salman seraya bersabda, “Ayat ini turun utuk para sahabatmu.” Beliau kemudian bersabda, “Barangsiapa yang mati dalam agama Isa sebelum mendengar aku maka dia mati dalam kebaikan. Barangsiapa yang telah mendengar aku dan tidak mengimaniku maka dia celaka.[2]

Tafsir Ayat

Allah Swt. berfirman: Inna al-ladzîna âmanû wa al-ladzîna hâdû wa an-nashârâ wa ash-shâbi’îna (Sesungguhnya orang-orang Mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi’in).

Setidaknya ada tiga penafsiran mengenai siapa yang dimaksud dengan al-ladzîna âmanû. Pertama: orang-orang yang beriman kepada Isa as. yang hidup sebelum diutusnya Rasulullah saw. Pada saat yang sama mereka berlepas diri dari kebatilan agama Yahudi dan Nasrani. Di antara mereka ada yang sampai menjumpai Rasulullah saw. dan mengikuti Beliau; ada pula yang tidak sempat.[3] Demikian menurut Ibnu Abbas dalam suatu riwayat.[4] Kedua: orang-orang munafik yang mengaku beriman. Penafsiran itu dikemukakan Sufyan ats-Tsauri, az-Zamakhsyari, dan an-Nasafi.[5] Ketiga: orang-orang yang beriman kepada Nabi Muhammad saw. secara benar. Di antara yang berpendapat demikian adalah al-Qurthubi, ath-Thabari, asy-Syaukani, dan al-Jazairi.[6] Dua pendapat terakhir itu dibenarkan oleh al-Baidhawi. Menurutnya, kata al-ladzîna âmanû mencakup semua orang yang memeluk agama Muhammad (Islam), baik yang mukhlis maupun yang munafik.[7] Tampaknya, pendapat ini lebih dapat diterima. Alasannya, jika Yahudi adalah pemeluk agama Musa as., Nasrani merupakan pengikut agama Isa as., maka Mukmin adalah sebutan untuk umat Nabi Muhammad saw.[8] Disebut Mukmin, kata Ibnu Katsir, karena banyaknya keimanan mereka. Mereka mengimani seluruh nabi yang terdahulu dan perkara gaib yang akan datang.[9]

Adapun kata al-ladzîna hâdû merujuk kepada pemeluk agama Yahudi.[10] Menurut az-Zujaj, secara bahasa kata hâdû bermakna tâbû (bertobat).[11] Mereka dinamai demikian karena mereka pernah bertobat setelah melakukan penyembahan terhadap al-ijl (patung sapi betina). Al-Quran menyitir pernyataan mereka: Inna hudnâ ilayk” (Sesungguhnya kami kembali [bertobat] kepada Engkau) (QS al-A‘raf [7]: 156). Demikian penjelasan Ibnu Mas‘ud.[12]

Kata an-Nashârâ bentuk jamak dari kata Nashrani.[13] Mereka adalah para pengikut Nabi Isa as. Disebut Nashrani karena di antara mereka yang menjadi pengikut setianya—al-hawariyyin—pernah menyanggupi permintaan Isa as. untuk menjadi anshâr Allâh. Allah Swt. mengabadikan jawaban mereka: Nahnu anshâr Allâh (Kami adalah penolong-penolong agama Allah) (QS Ali Imran [3]: 52, ash-Shaff [61]: 14). Ada pula yang mengaitkan sebutan Nasrani dengan nama daerah kelahiran Isa yang dikenal dengan Nâshirah (Nazareth).[14]

Para mufassir berbeda pendapat mengenai siapa yang dimaksud dengan ash-Shâbi’în. Menurut Wahab bin Munabbih, mereka adalah kaum yang mengetahui keesaan Allah, tidak memiliki syariah yang diamalkan, dan tidak membicarakan kekufuran. Ibnu Zaid menuturkan, mereka adalah pemeluk suatu agama di daerah Mosul. Mereka mengucapkan kalimat: Lâ ilâha illâ Allâh. Mereka tidak memiliki amal, kitab, dan nabi kecuali kalimat tauhid itu. Oleh karena itu, kaum musyrik pernah menyebut Nabi saw. dan para Sahabatnya sebagai shâbi’ûn karena menyerupai mereka dalam kalimat: Lâ ilâha illâ Allâh.[15]

Mujahid, Ibnu Abi Najih, Atha’, dan Said bin Jubair menyatakan bahwa mereka adalah kaum antara Majusi, Yahudi, dan Nasrani. Adapun Abu Aliyah, Rabi’ bin Anas, as-Sudi, dan adh-Dhuhak berpendapat bahwa mereka adalah salah satu firqah (sekte) dari Ahlul Kitab yang membaca Zabur.[16] Pendapat ini juga didukung Abdurrahman as-Sa’di.[17] Walhasil, memang tidak ada kesamaan tentang siapa mereka. Namun demikian, dari berbagai pendapat tersebut, setidaknya didapatkan gambaran bahwa mereka adalah suatu kaum yang memeluk agama tertentu.

Selanjutnya Allah Swt. berfiman: man âmana bi Allâhi wa al-yawm al-âkhir wa ‘amila shalih[an] (siapa saja di antara mereka yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta beramal salih).

Kata man dalam ayat di atas kembali pada semua kelompok yang disebutkan. Man âmana memberikan pengertian, siapa saja di antara mereka yang menjaga imannya (hingga mati), jika mereka sudah beriman; atau masuk ke dalam iman, jika mereka masih belum beriman.[18]

Perkara yang harus diimani adalah iman kepada Allah Swt. dan Hari Kiamat. Kendati yang disebutkan hanya iman kepada Allah dan Hari Akhir, bukan berarti hanya mengimani dua perkara itu sudah dapat mengeluarkan seseorang dari kekufuran dan menjadi Mukmin. Sebab, sebagaimana dinyatakan al-Alusi, iman kepada Allah Swt. itu meliputi iman terhadap sifat dan af‘âl-Nya.[19] Keimanan pada sifat dan af‘al-Nya itu bisa benar jika didasarkan pada pemberitahuan-Nya. Itu berarti, keimanan kepada Allah Swt. meniscayakan iman kepada rasu-rasul dan kitab-kitab-Nya.

Demikian juga dengan iman pada Hari Kiamat. Keimanan ini juga mencakup iman kepada rasul dan kitab. Sebab, Hari Kebangkitan tersebut tidak akan dapat diketahui kecuali melalui informasi rasul Allah.[20] Oleh karenanya, meski yang disebutkan hanya dua perkara, keimanan yang dimaksudkan tidak terbatas hanya dua perkara itu. Keimanan tersebut harus komprehensif sebagaimana dinyatakan dalam nash-nash lain, yakni beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat, dan al-Qadha wa al-Qadhar.

Sebuah amal dapat dikategorikan sebagai amal salih jika sejalan dengan ketentuan syariah dan dikerjakan semata-semata untuk Allah Swt. Artinya, amal keempat kelompok itu dapat dikategorikan sebagai amal salih jika amalnya sejalan dengan syariah yang dibawa rasul pada zamannya masing-masing sebelum ada nasakh dan perubahan.[21]

Allah Swt. berfirman: falahum ajruhum ‘inda Rabbihim (mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka). Ini merupakan janji Allah Swt. kepada setiap orang yang memenuhi syarat atau sifat yang disebutkan sebelumnya, bahwa Allah Swt. akan memberikan kepada mereka pahala yang besar.

Balasan lain yang dijanjikan Allah Swt. kepada mereka adalah: wa lâ khawf[un] ‘alayhim wa lâ hum yahzanûn (tidak ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak pula mereka bersedih hati). Keadaan ini mereka alami terutama di akhirat kelak.[22]

Bukan Dalil Pluralisme Agama

Pengkajian tentang ayat ini secara mendalam menunjukkan bahwa ayat ini sama sekali tidak melegitimasi kebenaran agama-agama selain Islam atau menjadi dalil bagi keselamatan pemeluk Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in sebagaimana sering digemborkan kaum Liberal.

Dari segi sabab nuzûl-nya, ayat ini merupakan jawaban terhadap pertanyaan Salman al-Farisi tentang nasib teman-temannya dulu. Artinya, jelas bahwa kaum Yahudi, Nasrani, dan Shabi’in yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah kaum yang hidup sebelum diutusnya Rasul saw., yakni bahwa umat-umat terdahulu yang mengikuti agama nabinya dengan konsisten akan mendapatkan pahala di sisi Allah Swt.

Dari segi ungkapannya juga jelas, bahwa janji pahala dan keselamatan itu hanya diberikan jika mereka beriman dengan keimanan yang benar dan komprehensif. Sebab, pengingkaran terhadap sebagian perkara yang wajib diimani dapat menyebabkan pelakunya menjadi kafir (QS al-Nisa’ [4]: 136, 150-150).

Berpijak pada kenyataan tersebut, sebagaimana dinyatakan asy-Syaukani, al-Qasimi, dan al-Qinuji, yang dapat memenuhi kriteria keimanan tersebut saat ini hanyalah orang-orang yang memeluk Islam.[23] Sebaliknya, semua penganut agama selain Islam saat ini dapat dikategorikan sebagai orang kafir. Sebab, secara pasti mereka mengingkari Nabi Muhammad saw. sebagai Rasul-Nya dan al-Quran sebagai Kitab-Nya.

Karena itu, siapa saja—termasuk pemeluk Yahudi dan Nasrani—yang menginginkan dikelompokkan sebagai kaum beriman, tidak ada pilihan lain kecuali harus mengimani perkara-perkara akidah yang telah ditetapkan Islam tersebut. (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 137).

Lebih dari itu, akidah dan syariah mereka juga banyak diliputi dengan mitos dan kesesatan. Akidah Trinitas yang menjadi pokok pangkal agama Nasrani menjadi salah satu bukti nyatanya. Secara tegas al-Quran menyebut orang yang mengakui ketuhanan Isa atau akidah Trinitas tergolong sebagai orang kafir (QS al-Maidah [5]: 72, 73).

Demikian juga dalam amal salih. Sejak diutusnya Rasulullah saw, syariah Beliau telah me-naskh (menghapus berlakunya) syariah yang dibawa rasul sebelumnya sehingga yang boleh diamalkan hanyalah syariat Islam.

Ibnu Abbas menegaskan bahwa tidak akan diterima, baik tharîqah atau amal perbuatan, kecuali sesuai dengan syariat Nabi Muhammad saw. setelah Beliau diutus. Adapun sebelum itu, setiap orang yang mengikuti rasul pada zamannya, maka ia berada di atas petunjuk, jalan, dan keselamatan.[24] Al-Wahidi juga menyimpulkan, kata wa ‘amila shâlih[an] merupakan dalil tentang keimanan kepada Nabi Muhammad saw. Sebab, orang yang tidak beriman kepada Beliau, amalnya tidak ada yang salih.[25]

Hal lain yang juga sering diabaikan oleh kaum Liberal dalam memahami ayat ini—juga ayat-ayat lainnya—adalah petunjuk ayat-ayat muhkam. Padahal, di antara kaidah penting dalam menafsirkan al-Quran adalah keharusan menjadikan ayat-ayat yang muhkam sebagai patokan dalam memahami ayat-ayat yang mutasyabih. Dengan kata lain, semua nash, baik ayat al-Quran maupun Hadis Nabi saw., yang mengandung kesamaran dan banyak takwil harus dikonfirmasikan dan dirujukkan pada nash-nash yang jelas dan pasti.

Ayat-ayat muhkamât jelas menolak kesimpulan kaum Liberal tersebut. Nabi Muhammad saw. diutus sebagai nabi dan rasul untuk seluruh manusia tanpa terkecuali (QS Saba’ [34]: 28, al-A‘raf [7]: 158). Karena itu, semua manusia harus mengimani dan mengikutinya, termasuk Ahlul Kitab. Secara khusus, Rasulullah saw. diperintahkan untuk menawarkan Islam kepada Ahlul Kitab. (QS Ali Imran [3]: 19; an-Nisa’ [4]: 47; al-Maidah [5]: 15-16).

Sejarah juga mencatat, Nabi saw. sering mengajak kalangan Ahlul Kitab untuk masuk Islam. Tindakan Rasulullah saw. ini menjadi bukti nyata, bahwa pemeluk agama Nasrani dan lainnya termasuk bagian dari obyek yang harus diajak masuk Islam dan meninggalkan agama lama yang sebelumnya diyakininya. Sebab, jika mereka telah dianggap cukup dengan memeluk agama mereka, untuk apa Rasulullah saw bersusah-payah mengajak mereka masuk Islam?

Ditegaskan pula, agama yang diridhai Allah Swt. setelah diutusnya Rasulullah saw. adalah Islam (QS al-Maidah [5]: 3, Ali Imran [3]: 20). Artinya, semua agama selain Islam tidak akan diterima Allah (QS Ali Imran [3]: 85).

Rasulullah saw. juga menegaskan:

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ نَصْرَنِيٌ وَلاَ يَهُوْدِيٌ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Zat Yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentang aku seseorang dari umat ini, baik dia Yahudi atau Nasrani, lalu ia mati dan tidak mengimani risalah yang aku bawa (Islam), kecuali termasuk penghuni neraka (HR Muslim).

Tiga argumentasi di atas sudah cukup membatalkan klaim kaum Liberal yang menyelewengkan ayat ini untuk dijadikan dalil bagi pluralisme agama. Jika demikian halnya, atas dasar kebohongan apalagi mereka menyeret ayat ini untuk menjustifikasi kekufuran?

Wallâh a‘lam bi ash-shawâb. [Oleh: Rokhmat S. Labib,M.E.I.]



--------------------------------------------------------------------------------


[1] As-Suyuti, al-Durr al-Mantsûr fî Tafsîr al-Ma’tsûr vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1990), 143.

[2] As-Suyuti, al-Durr al-Mantsûr, vol. 1, 143.

[3] Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 46.

[4] Nidzam al-Din al-Naysaburi, Tafsîr Gharâib al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), 302.

[5] Al-Zamakhsyari, al-Kasyâf, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 148; al-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 57.

[6] Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt), 432; al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1992), 358; al-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), 117; al-Jazairi, Aysâr al-Tafâsîr, vol. 1(tt: Nahr al-Khair, 1993), 64. Ketiga pendapat itu juga dirangkum oleh al-Razi, al-Tafsîr al-Kabîr, vol. 3 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1990), 97.

[7] Al-Baidhawi, Anwâr al-Tanz îl wa Asrâr al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1988), 66;

[8] Al-Baghawi, Ma’âlim al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 46; al-Khazin, Lubâb al-Tawîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 50.

[9] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 1 (Riyadh: Dar ‘Alam al-Kutub, 1997), 132.

[10] Ath-Thibrisi, Majma’ al-Bayân f Tafsr al-Qur’ân, vol. 1 (tt: Dar al-Ma’rifah, tt), 258.

[11] Al-Jawzi al-Qurasy, Zâd al-Masîr fî‘Ilm al-Taf îr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Fikr, 1987), 78.

[12] Asy-Syaukani, Fath al-Qadîr, vol. 1, 119.

[13] An-Nasafi, Madârik al-Tanzîl, vol. 1, 57.

[14] Al-Jauzi al-Qurasy, Zâd al-Masîr, vol. 1, 78; al-Mawardi, al-Nukat wa al-‘Uyûn,, vol. 1 (

Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), 132.

[15] al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân, vol. 1, 360; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 1, 132.

[16] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 1, 132-133

[17] As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, vol. 1 (tt: Jam’iyyah Ihya’ al-Turats, 2000), 48.

[18] Al-Baqa’i, Nazhm Durar fî Tanâsub al-Ayât wa al-Suwar, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 145; Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Tasyhîl li ‘Ulûm al-Tanzîl ,vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 69.

[19] Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 280.

[20] Ibn ‘Athiyyah, al-Muharrar al-Wajîz fî Tafsîr al-Kitâb al-‘Azîz, vol.1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 158; Abu Hayyan al-Andalusi, Tafsîr al-al-Bahr al-Muhîth, vol. 1 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 405.

[21] Ini dirangkumkan dari al-Baqai, Nazhm Durar, vol. 1, 165 dan al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1997), 320.

[22] Al-Khazin, Lubâb al-Ta’wîl f î Ma’â nî al-Tanzîl, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1995), 50.

[23] Al-Syawkani, Fath al-Qadîr, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Kutub al-Ilmiyyah, 1993), 117-118; al-Qasimi, Mahâsin al-Ta’wîl, vol. 1, 316; al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshîd al-Qur’ân, vol. 1 (Qathar: Dar Ihya’ al-Turats al-Islami, 1989), 185.

[24] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al’Azhîm, vol. 1, 132

[25] Al-Wahidi al-Naysaburi, al-Wasîth fî Tafsîr al-Qur’ân al-Majîd, vol. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), 150.

Post edited by: fa1z, at: 2008/03/20 10:58

MUHAMMAD FATIH sang PENAKLUK

Abu Qubail menuturkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, “Suatu ketika kami sedang menulis di sisi Rasulullah SAW, tiba-tiba beliau ditanya, “Mana yang terkalahkan lebih dahulu, Konstantinopel atau Romawi?” Beliau menjawab, “Kota Heraklius-lah yang akan terkalahkan lebih dulu.” Maksudnya adalah Konstantinopel.” [H.R. Ahmad, Ad-Darimi, Al-Hakim]
“Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” [H.R. Ahmad bin Hanbal Al-Musnad 4/335]
Jika anda terkagum-kagum dengan penggambaran perang yang ketat antara Balian of Ibelin melawan Shalahudin Al-Ayyubi di film Kingdom of Heaven [resensi Priyadi], maka perang antara Constantine XI Paleologus dengan Muhammad Al-Fatih jauh lebih ketat, tidak hanya dalam hitungan hari tapi berminggu-minggu.

Kekaisaran Romawi terpecah dua, Katholik Roma di Vatikan dan Yunani Orthodoks di Byzantium atau Constantinople yang kini menjadi Istanbul. Perpecahan tersebut sebagai akibat konflik gereja meskipun dunia masih tetap mengakui keduanya sebagai pusat peradaban. Constantine The Great memilih kota di selat Bosphorus tersebut sebagai ibukota, dengan alasan strategis di batas Eropa dan Asia, baik di darat sebagai salah satu Jalur Sutera maupun di laut antara Laut Tengah dengan Laut Hitam dan dianggap sebagai titik terbaik sebagai pusat kebudayaan dunia, setidaknya pada kondisi geopolitik saat itu.
Yang mengincar kota ini untuk dikuasai termasuk bangsa Gothik, Avars, Persia, Bulgar, Rusia, Khazar, Arab-Muslim dan Pasukan Salib meskipun misi awalnya adalah menguasai Jerusalem. Arab-Muslim terdorong ingin menguasai Byzantium tidak hanya karena nilai strategisnya, tapi juga atas kepercayaan kepada ramalan Rasulullah SAW melalui riwayat Hadits di atas.

Upaya pertama dilakukan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 668M, namun gagal dan salah satu sahabat Rasulullah SAW yaitu Abu Ayyub Al-Anshari ra. gugur. Sebelumnya Abu Ayyub sempat berwasiat jika ia wafat meminta dimakamkan di titik terjauh yang bisa dicapai oleh kaum muslim. Dan para sahabatnya berhasil menyelinap dan memakamkan beliau persis di sisi tembok benteng Konstantinopel di wilayah Golden Horn.
Generasi berikutnya, baik dari Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah hingga Turki Utsmani pada masa pemerintahan Murad II juga gagal menaklukkan Byzantium. Salah satu peperangan Murad II di wilayah Balkan adalah melawan Vlad Dracul, seorang tokoh Crusader yang bengis dan sadis (Dracula karya Bram Stoker adalah terinsipirasi dari tokoh ini). Selama 800 tahun kegagalan selalu terjadi, hingga anak Sultan Murad II yaitu Muhammad II naik tahta Turki Utsmani.
Sejak Sultan Murad I, Turki Utsmani dibangun dengan kemiliteran yang canggih, salah satunya adalah dengan dibentuknya pasukan khusus yang disebut Yanisari. Dengan pasukan militernya Turki Utsmani menguasasi sekeliling Byzantium hingga Constantine merasa terancam, walaupun benteng yang melindungi –bahkan dua lapis– seluruh kota sangat sulit ditembus, Constantine pun meminta bantuan ke Roma, namun konflik gereja yang terjadi tidak menelurkan banyak bala bantuan.

Hari Jumat, 6 April 1453M, Muhammad II atau disebut juga Mehmed bersama gurunya, syaikh Aaq Syamsudin, beserta tangan kanannya, Halil Pasha dan Zaghanos Pasha merencanakan penyerangan ke Byzantium dari berbagai penjuru benteng kota tersebut. Dengan berbekal 150.000 ribu pasukan dan meriam buatan Urban –teknologi baru pada saat itu– Muhammad II mengirim surat kepada Paleologus untuk masuk Islam atau menyerahkan penguasaan kota secara damai atau perang. Constantine Paleologus menjawab tetap mempertahankan kota dengan dibantu oleh Kardinal Isidor, Pangeran Orkhan dan Giovanni Giustiniani dari Genoa.
Kota dengan benteng 10m-an tersebut memang sulit ditembus, selain di sisi luar benteng pun dilindungi oleh parit 7m. Dari sebelah barat melalui pasukan altileri harus membobol benteng dua lapis, dari arah selatan laut Marmara pasukan laut harus berhadapan dengan pelaut Genoa pimpinan Giustiniani dan dari arah timur armada laut harus masuk ke selat sempit Golden Horn yang sudah dilindungi dengan rantai besar hingga kapal perang ukuran kecil pun tak bisa lewat.
Berhari-hari hingga berminggu-minggu benteng Byzantium tak bisa jebol, kalaupun runtuh membuat celah pasukan Constantine mampu mempertahankan celah tersebut dan dengan cepat menumpuk kembali hingga tertutup. Usaha lain pun dicoba dengan menggali terowongan di bawah benteng, cukup menimbulkan kepanikan kota, namun juga gagal. Hingga akhirnya sebuah ide yang terdengar bodoh dilakukan hanya dalam semalam. Salah satu pertahanan yang agak lemah adalah melalui selat Golden Horn yang sudah dirantai. Ide tersebut akhirnya dilakukan, yaitu memindahkan kapal-kapal melalui darat untuk menghindari rantai penghalang, hanya dalam semalam dan 70-an kapal bisa memasuki wilayah selat Golden Horn.
29 Mei, setelah sehari istirahat perang Muhammad II kembali menyerang total, diiringi hujan dengan tiga lapis pasukan, irregular di lapis pertama, Anatolian Army di lapis kedua dan terakhir pasukan Yanisari. Giustiniani sudah menyarankan Constantine untuk mundur atau menyerah tapi Constantine tetap konsisten hingga gugur di peperangan. Kabarnya Constantine melepas baju perang kerajaannya dan bertempur bersama pasukan biasa hingga tak pernah ditemukan jasadnya. Giustiniani sendiri meninggalkan kota dengan pasukan Genoa-nya. Kardinal Isidor sendiri lolos dengan menyamar sebagai budak melalui Galata, dan Pangeran Orkhan gugur di peperangan.
Konstantinopel telah jatuh, penduduk kota berbondong-bondong berkumpul di Hagia Sophia, dan Sultan Muhammad II memberi perlindungan kepada semua penduduk, siapapun, baik Islam, Yahudi ataupun Kristen. Hagia Sophia pun akhirnya dijadikan masjid dan gereja-gereja lain tetap sebagaimana fungsinya bagi penganutnya.
Toleransi tetap ditegakkan, siapa pun boleh tinggal dan mencari nafkah di kota tersebut. Sultan kemudian membangun kembali kota, membangun sekolah –terutama sekolah untuk kepentingan administratif kota– secara gratis, siapa pun boleh belajar, tak ada perbedaan terhadap agama, membangun pasar, membangun perumahan, bahkan rumah diberikan gratis kepada para pendatang yang bersedia tinggal dan mencari nafkah di reruntuhan kota Byzantium tersebut. Hingga akhirnya kota tersebut diubah menjadi Istanbul, dan pencarian makam Abu Ayyub dilakukan hingga ditemukan dan dilestarikan.
Dan kini Hagia Sophia yang megah berubah fungsi menjadi museum.

Sumber: Alwi Alatas: Al-Fatih Sang Penakluk Konstantinopel, Penerbit Zikrul Hakim, 2005






























Saat tulisan ini dibuat, penulis masih berada di jantung kota Istanbul dalam rangka mengikuti dan meliput langsung Multaqa Al-Quds Ad-Dauli (A-Quds International Forum)
Sejak mendarat di bandara Istanbul, kesan kemegahan khilafah Islamiyah terakhir dan sisa-sisa peradabannya langsung mencuat. Begitu banyak situs yang menjadi saksi sejarah kebesaran Islam di bawah pimpinan para khalifah Bani Utsmani untuk menembus jantung Eropa membawa agama Islam.
Kota ini memang unik, penuh dengan sejarah yang besar dan menentukan arah peradaban. Tokohnya adalah Muhammad II atau lebih dikenal sebagai Sultan Muhammad Al-Fatih.
Menerima Jabatan Khalifah Sejak Belia
Usia beliau masih sangat muda, boleh dibilang masih kanak-kanak tatkala ayahandanya, Sultan Murad II, pensiun dini dari mengurus khilafah. Sang Ayah berniat untuk beruzlah di tempat yang sepi dari keramaian politik. Roda kepemimpinan diserahkan kepada puteranya, Muhammad, yang sebenarnya saat itu masih belum cukup umur. Mengingat saat itu wilayah Islam sudah membentang luas dari Maroko sampai Marouke.
Namun kebeliaannya tidak membuat prestasinya berkurang. Justru sejarah mencatat bahwa di masa kepemimpinan beliau, silsilah khilafah Bani Utsmani mencapai kejayaan terbesarnya, yaitu menaklukkan benua Eropa sebagaimana yang dijanjikan sebelumnya oleh Rasulullah SAW.
Kecakapan Muhammad cukup masuk akal, mengingat sejak kecil beliau telah mendapatkan berbagai macam pembinaan diri dan pendalaman ilmu-ilmu agama. Sang Ayah memang secara khusus meminta kepada para ulama untuk mendidiknya, karena nantinya akan menjadi khalifah tertinggi. Mulai dari bahasa Arab, tafsir, hadits, fiqih sampai ke ilmu sistem pengaturan negara, telah beliau lahap sejak usia diri. Bahkan termasuk ilmu strategi perang dan militer adalah makanan sehari-hari.
Siapa Yang Jadi Khalifah?
Sultan Murad II berhenti dari jabatannya di tengah begitu banyak problem, baik internal maupun eksternal. Sementara khilafah sedang menghadapi serangan bertubi-tubi dari tentara kerajaan Romawi Timur.
Sebagai khalifah yang masih sangat belia, Muhammad Al-Fatih kemudian berinisiatif untuk mengirim utusan kepada ayahandanya dengan membawa pesan. Isinya cukup unik untuk mengajak sang ayahanda tidak berdiam diri menghadapi masalah negara.
"Siapakah yang saat ini menjadi khalifah: saya atau ayah? Kalau saya yang menjadi khalifah, maka sebagai khalifah, saya perintahkan ayahanda untuk datang kemari ikut membela negara. Tapi kalau ayahanda yang menjadi khalifah, maka seharusnya seorang khalifah berada di tengah rakyatnya dalam situasi seperti ini"
Menembus Eropa
Setiap pahlawan Islam selalu bercita-cita untuk menjadi orang yang dimaksud Rasulullah SAW dalam haditsnya sebagai panglima yang terbaik dan tentaranya tentara yang terbaik dan membebaskan Konstantinopel agar terbebas dari kekuasaan Romawi.
Sudah sejak Rasulullah SAW masih hidup, beliau sudah berupaya menjadikan penguasa di Konstatinopel menjadi muslim. Selembar surat ajakan masuk Islam dari nabi SAW telah diterima Kaisar Heraklius di kota ini.
Dari Muhammad utusan Allah kepada Heraklius raja Romawi.
Bismillahirrahmanirrahim, salamun 'ala manittaba'al-huda, Amma ba'du,
Sesungguhnya Aku mengajak anda untuk memeluk agama Islam. Masuk Islam lah Anda akan selamat dan Allah akan memberikan Anda dua pahala. Tapi kalau Anda menolak, Anda harus menanggung dosa orang-orang Aritsiyyin."
Dikabarkan bahwa saat menerima surat ajakan masuk Islam itu, Kaisar Heraklius cukup menghormati dan membalas dengan mengirim hadiah penghormatan. Namun dia mengakui bahwa dirinya belum siap untuk memeluk Islam.
Di masa shahabat, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Umar radhiyallahu 'anhu, Khalid bin Walid dikirim sebagai panglima perang menghadapi pasukan Romawi. Khalid memang mampu membebaskan sebagian wilayah Romawi dan menguasai Damaskus serta Palestina (Al-Quds). Tapi tetap saja ibukota Romawi Timur saat itu, Konstantinopel, masih belum tersentuh.
Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi, pahlawan yang merebut Al-Quds sekalipun, ternyata masih belum mampu membebaskan Konstantinopel. Padahal beliau pernah mengalahkan serangan tentara gabungan dari Eropa pimpinan Richard The Lion Heart dalam perang Salib. Ternyata membebaskan kota warisan Kaisar Heraklius bukan perkara sederhana. Dibutuhkan kecerdasan, keuletan dan tentunya, kekuatan yang mumpuni untuk pekerjaan sebesar itu.
Dan ternyata Sultan Muhammad Al-Fatih orangnya. Beliau adalah sosok yang telah ditunggu umat Islam sepanjang sejarah menunggu-nunggu realisasi hadits syarif Muhammad SAW.
Tidak mudah memang untuk membebaskan Istanbul yang sebelumnya bernama Konstantinopel ini. Kotanya cukup unik, karena berada di dua benua, Asia dan Eropa. Di tengah kota ada selat Bosporus yang membentang, ditambah benteng-benteng yang cukup merata.
Tetapi Sultan Muhammad Al-Fatih tidak pernah menyerah. Sejarah mencatat beliau telah memerintahkan para ahli dan insinyurnya untuk membuat sebuah senjata terdahsyat, yaitu sebuah meriam raksasa. Suaranya saja mampu menggetarkan nyali lawan dan berpeluru logam baja. Meriam ini mampu menembak dari jarak jauh serta meluluh-lantakkan benteng Bosporus.
Inilah barangkali meriam terbesar yang pernah dibuat manusia. Sebelumnya dari sejarah para penakluk, belum pernah ada tentara manapun yang punya meriam raksasa sebesar ini.

Dalam bahasa Turki, Muhammad sering disebut dengan Fatih Sultan Mehmet. Beliau lahir 30 Maret 1432 dan wafat 3 Mei 1481.
Pribadi Shalih
Dari sisi keshalihannya, Muhammad Al-Fatih disebutkan tidak pernah meninggalkan tahajud dan shalat rawatib sejak baligh hingga saat wafat. Dan kedekatannya kepada Allah SWT ditularkan kepada tentaranya. Tentara Sultan Muhammad Al-Fatih tidak pernah meninggalkan solat wajib sejak baligh. Dan separuh dari mereka tidak pernah meninggalkan solat tahajud sejak baligh.
Itulah barangkali kunci utama keberhasilan beliau dan tentaranya dalam menaklukkan kota yang dijanjikan nabi SAW. Rupanya kekuatan beliau bukan terletak pada kekuatan pisik, tapi dari sisi kedekatan kepada Allah, nyata bahwa beliau dan tentaranya sangat menjaga hubungan kedekatan, lewat shalat wajib, tahajjud dan sunnah rawatib lainnya
Sang Penakluk atau Sang Pembebas?
Karena prestasinya menaklukkan Konstantinopel, Muhammad kemudian mendapat gelar “Al-Fatih”. Artinya sang pembebas. Barangkali karena para pelaku sejarah sebelumnya tidak pernah berhasil melakukannya, meski telah dijanjikan nabi SAW.
Namun orang barat menyebutkan The Conqueror, Sang Penakluk. Ada kesan bila menggunakan kata "Sang Penakluk" bahwa beliau seolah-olah penguasa yang keras dan kejam. Padahal gelar yang sebenarnya dalam bahasa arab adalah Al-Fatih. Berasal dari kata: fataha - yaftahu. Artinya membuka atau membebaskan. Kata ini terkesan lebih santun dan lebih beradab. Karena pada hakikatnya, yang beliau lakukan bukan sekedar penaklukan, melainkan pembebasan menuju kepada iman dan Islam.
Beliau merupakan seseorang yang sangat ahli dalam berperang dan pandai berkuda. Ada yang mengatakan bahwa sebagian hidupnya dihabiskan di atas kudanya.
Yang lebih menarik, meski beliau punya kedudukan tertinggi dalam struktur pemerintahan, namun karena keahlian beliau dalam ilmu strategi perang, hampir seluruh perjalanan jihad tentaranya ia pimpin secara langsung. Bahkan ia tetap berangkat berjihad kendati sedang menderita suatu penyakit.
Tata Negara dan Administrasi
Selain sebagai ahli perang dan punya peran besar dalam hal perluasan wilayah Islam, beliau juga ahli di bidang penataan negara, baik secara pisik maupun dalam birokrasi dan hukum. Kehebatan beliau dalam menata negerinya menjadi negeri yang sangat maju diakui oleh banyak ilmuwan. Bahkan secara serius belaiu banyak melakukan perbaikan dalam hal perekonomian, pendidikan dan lain-lain.
Dalam kepemimpinannya, Istambul dalam waktu singkat sudah menjadi pusat pemerintahan yang sangat indah dan maju di samping sebagai bandar ekonomi yang sukses.
Beliau juga dikenal sebagai pakar dalam bidang ketentaraan, sains, matematika. Beliau memenguasai 6 bahasa sejak berumur 21 tahun. Seorang pemimpin yang hebat namun tawadhu'.
Mentarbiyah Tentara Satu hal yang jarang diingat orang adalah proses pembentukan pasukan yang sangat profesional. Pembibitan dilakukan sejak calon prajurit masih kecil. Ada team khusus yang disebarkan ke seluruh wilayah Turki dan sekitarnya seperti Balkan dan Eropa Timur untuk mencari anak-anak yang paling pandai IQ-nya, paling rajin ibadahnya dan paling kuat pisiknya. Lalu ditawarka kepada kedua orang tuanya sebuah kontrak jangka panjang untuk ikut dalam tarbiyah (pembinaan) sejak dini.
Bila kontrak ini ditandatangani dan anaknya memang berminat, maka seluruh kebutuhan hidupnya langsung ditanggung negara. Anak itu kemudian mulai mendapat bimbingan agama, ilmu pengetahuan dan militer sejak kecil. Mereka sejak awal sudah dipilih dan diseleksi serta dipersiapkan.
Maka tidak heran kalau tentara Muhammad Al-FAtih adalah tentara yang paling rajin shalat, bukan hanya 5 waktu, tetapi juga shalat-shalat sunnah. Sementara dari sisi kecerdasan, mereka memang sudah memilikinya sejak lahir, sehingga penambahan ilmu dan sains menjadi perkara mudah.
Konstantinopel Menjadi Istanbul
Setelah ditaklukan nama Konstatinopel diubah menjadi Islambul yang berarti “Kota Islam”, tapi kemudian penyebutan ini bergeser menjadi Istambul seperti yang biasa kita dengar sekarang.
Sejak saat itu ibu kota khilafah Bani Utstmani beralih ke kota ini dan menjadi pusat peradaban Islam dan dunia selama beberapa abad. Sebab kota ini kemudian dibangun dengan segala bentuk keindahannya, percampuran antara seni Eropa Timur dan Arab.
Gereja dan tempat ibadah non muslim dibiarkan tetap berdiri, tidak diutak-atik sedikit pun. Sementara khalifah membangun gedung dengan arsitektur yang tidak kalah cantiknya dengan gedung-gedung sebelumnya. Sepintas kalau kita lihat gedung peninggalan peradaban masehi sama saja dengan bangunan masjid. Tetapi ternyata tetap ada perbedaan mendasar. Selain masalah salib yang menjadi ciri gereja, bangunan dari peradaban Islam punya dominasi lingkaran dan setengah lingkaran.
Seorang rekan dari Maghrib (Maroko) bercerita bahwa ada nilai falsafah di balik bentuk-bentuk lingkaran atau kubah yang kita lihat dari bentuk masjid, yaitu bahwa Islam itu masuk ke semua dimensi.
Kejayaannya dalam menaklukkan Konstantinopel menyebabkan bayak kawan dan lawan kagum dengan kepimpinannya serta taktik strategi peperangannya yang dikatakan mendahului zamannya.
Ia jugalah yang mengganti nama Konstantinopel menjadi Islambol (Islam keseluruhannya). Kini nama tersebut telah diganti oleh Mustafa Kemal Ataturk menjadi Istanbul. Untuk memperingati jasanya, Masjid Al-Fatih telah dibangun di sebelah makamnya. (eramuslim)